(Rewrite) Lamunan Anak Dhuafa






Aku Bisa Bertahan

 
Sebuah Cerita Fiksi

Aku sedang melamun, memikirkan apa yg kurasa. Duduk ditepi jendela, membawa sebuah clipbook, dan menggenggam pena yg ingin ku ukir diatas kertas-kertas kosong. Dengan diiringi lagu-lagu yang selalu jadi inspirasiku, aku berbagi rasa dengan pena dan kertas ini. Entah mengapa aku ingin menulis lagi, setelah sekian lama aku tak berirama dengan tinta yg keluar dari dalam pena ini. Bahkan aku sempat malu pada penaku, karna terlalu lama aku tak menggunakannya. Maaf penaku. Aku sudah lama meninggalkanmu. Tanpa sedikitpun aku mengingatmu, apalagi merindukanmu. Tapi kali ini aku ingin mengajakmu bercerita pada kertas kosong ini, tentang apa yg selama ini kurasakan dan selalu kupendam dalam hati kecilku.


“Write to Survive!” kata hatiku. Karna menulis adalah caraku berjuang untuk bertahan dilingkungan ini. Meluapkan semua perasaan yg ku pendam dikertas ini, adalah cara untuk sedikit menghilangkan luka dan beban yang ada, yang telah membakar seluruh jiwa.

Bosan dan malas, adalah kata-kata yang selalu ada dibenakku. Lemah dan kalah, adalah sebutan yang selalu kudengar dilingkungan ini. Di rumah yang kurasa semakin asing buatku. Diantara orang-orang yang kusebut dengan keluarga, yang semakin melupakanku dengan apa yang mereka kerjakan. Membuatku seolah tak dianggap oleh mereka, dan seolah tak melihatku ada diantara mereka.


Tiap hari aku cuman bisa malas-malasan. Menghabiskan waktu yang selalu kubuang sia-sia, mengerjakan apa yang kurasa tak ada pentingnya, dan entah mengapa apa yang kulakukan selalu membuat mereka merasa terganggu. Tapi aku hanya bisa pasrah ketika mereka memarahiku, karna aku tak bisa hidup tanpa mereka. Mungkin jika aku tak ada diantara mereka, aku sudah menjadi gelandangan di pinggir jalan. Jadi aku perlu berterimakasih kepada mereka karna sudah menerimaku, meski hanya sebagai benalu di rumah.


Kadang aku iri melihat adik-adikku, yang tiap hari mengemasi buku-buku pelajaran di ranselnya, mengerjakan tugas yang diberikan gurunya, dan mengikat tali sepatu untuk berangkat mencari ilmu. Aku juga iri pada kakakku, yang selalu sibuk dengan apa yang dia kerjakan. Orang tuaku, yang selalu sibuk dengan urusan mereka. Tapi aku cuman bisa melamun seperti ini, menundukkan daguku yang layu, dan menyangganya dengan tangan kananku. Dengan wajah lemas, dan raut muka penuh kesedihan. Aku takut melihat bayangan masa depanku yang tak cerah lagi, Tapi aku bingung merubah bayangan itu.


Sejenak aku mengambil jam tangan kesayanganku, dan ternyata aku sudah menghabiskan berjam-jam duduk di jendela ini. Lalu aku meletakkan jam itu di halaman kertas sebelah. Aku mengamati jarum detik yang ada pada jam itu, dan aku iri melihatnya. Aku ingin menjadi jarum detik, yang selalu berjalan maju. Walaupun sebenarnya ia hanya berputar-putar, tapi putaran itu yang membuat waktu terus berjalan. Ia yang menjalankan menit menuju jam, lalu sehari bisa berubah jadi seminggu, dan sebulan menjadi setahun. Semua berawal dari detik yang berputar.


Aku memang sudah seperti detik itu. Yang hanya berputar, tapi tak mengubah apapun. Aku hanya mensia-siakan waktu yang selalu berjalan. Lalu aku mengamati lagi jarum jam itu, melihat jarum detik yang terus berputar, dan membuat mataku mengikuti lajunya. Lalu ia seolah menghipnotisku. Menyadarkanku bahwa masih ada dzat yang masih setia bersamaku, Allah. Hanya Dia, satu-satunya dzat yang selalu ada disaat jiwaku rapuh, menolongku dikala ku jatuh. Dia yang selalu memberiku petunjuk disaat ku bimbang. Dia adalah jawaban dari pertanyaanku selama ini.



Sesaat itu aku merasa ditampar dengan pikiranku sendiri, tersadar bahwa aku melupakan dzat yang selalu mengingatku. Lalu aku bergegas mengambil air wudhu, untuk melaksanakan apa yang selama ini kulupakan. Walaupun langkah ini berat memenuhi panggilan adzanMu, suaraku masih serak membaca ayat-ayatMu, tapi Dia berikanku kekuatan, untuk melewati semua ini.


Lalu aku melamun lagi, tapi aku tak bingung lagi. Kucoba resapi semua problema yang terus menerjang. Kucoba selami segala yang telah terjadi. Kuambil hikmah dari apa yang Dia berikan. Kucari nikmatnya, walaupun itu tak ada. Dan kucoba untuk hadapi semua dengan tenang.



Aku sadar. Bahwa aku sedang berada didalam terowongan yang panjang. Di tempat yang sangat gelap, penuh lubang, penuh duri. Tapi aku yakin di ujung terowongan itu pasti ada cahaya, yaitu masa depan yang cerah. Aku harus bisa bertahan dalam keadaan ini, untuk menggapai masa depanku yang indah. Hingga kututup tulisan ini dengan mengucap sebait doa. Meminta apa yang seharusnya kuminta. Dan menyadari bahwa aku khilaf, karna telah melupakanMu.

 

“Ya Allah. Kau Yang Maha Kuat.


I want you to know that I will fight to survive.


I will not give up, I will not give in, I will stay alive for you.


I will survive, I will revive. Getting bigger than life.


Kau berikan aku kekuatan, untuk lewati semua ini.


Engkau Yang Maha Esa, Yang Perkasa


You give me reason to survive.


Give thanks to Allah.”


Selasa, 10 Desember 2014



Tentang Penulis


Nama : Muhammad Saib Maulana a.k.a. LittleCaib


Alamat : Krajan Ngaren, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah