Hujan & Tuhan
Oleh : Saina Maulana
January, 22th 2018
Suasana mendung terlihat semakin gelap
oleh awan yang membendung. Matahari di hari ini masih siang, tapi sinarnya
sudah tampak menghilang dan tak lagi membuat awan terlihat terang. Suasana
seperti ini selalu membuat hati terasa bimbang.
“Hujan nggak yaa?” Batinku memandang
langit.
Pukul 14:00 Wist. Jamku lagi kosong.
Jadwal mengaji satu jam lagi. Anganku kali ini ingin mengisi kegiatan dengan
pergi ke Makam untuk bertadarus. Tapi hujan membuatku ragu.
Pergi ke Makam adalah rutinitas yang
dilakukan setiap harinya oleh para santri di beberapa Pondok Pesantren Salaf.
Makam dari Sang Pendiri Pesantren biasanya terletak didekat Pesantren, yang
bertujuan agar santri mudah menjangkaunya. Dan Makam KH. Chudlori, Muazis
Pesantrenku juga lumayan dekat dengan perantren.
Di Makam itulah, santri sering
menghabiskan waktunya untuk bertadarus, mujahadah, sholat sunnah, atau hanya
sekedar berdo’a. Rutinitas ini yang membuat Makam selalu ramai setiap harinya,
selain para peziarah yang berbondong-bondong untuk berkunjung.
“Ah. Mumpung masih mendung,” akhirnya
kuyakinkan kaki untuk melangkah.
Sudah lama aku tak pergi ke Makam.
Serasa ada beban bila sehari saja tak melakukan rutinitas ini, kali ini aku
malah sudah berhari-hari tak kesana. Hilangnya kesempatan ditiap harinya karena
terhalang hujan yang tak kunjung reda di jam kosong.
“Ah. Kenapa aku jadi merasa membenci
hujan?” Batinku mengambang ditengah perjalanan.
Karena beberapa bulan ini aku memang
merasa sangat membenci hujan. Akupun tak mengerti dengan apa yang kurasakan.
Karena disetiap kali hujan turun, seketika suhu tubuhku terasa dingin,
menggigil, melemas, lalu berkeringat dingin. Semakin deras air hujan yang
turun, semakin dingin tubuhku merasakan suhunya. Dengan kepala yang terus
terasa berputar, dan tubuh yang semakin lemas, aku seperti orang mabuk bila
berjalan. Bahkan diam pun aku merasa kedinginan.
Alasan ini yang membuatku ingin
menghentikan semua kegiatan, dan lebih memilih diam dikamar, berpeluk selimut
tebal. Hanya karena kedinginan. Hanya karena hujan. Dan aku sangat membenci
alasan ini!
“Alhamdulillah.” Aku bersyukur, hujan
tak lagi menghalangi langkahku menuju ke Makam. Karena kini aku sudah berada di
Makam. Segera kuambil air wudhu dan bergegas untuk bertadarus.
Suasana Makam tak begitu ramai di jam
siang seperti ini, karena kebanyakan santri di Pesantrenku sedang mengaji. Santri
yang tidak mengaji hanyalah tingkatan Al-Ibtida’iyyah dan Fatchul Wahhab. Aku
mengaji di tingkatan Fatchul Wahhab.
Al-Qur’an sudah ditangan. Aku ingin
membaca satu juz, sementara aku kehilangan waktu ¼ jam karena perjalanan dan
keraguan. Kini harus kuselesaikan satu juz disisa waktu yang ada.
“A’udzubillahiminassaytonirrojim,”
kumulainya dengan membaca ta’awudz.
Beginilah suasana di Makam di
Pesantrenku. Sekilas bila hanya dilihat, Makam hanya dijadikan sebagai tempat
untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah atau ibadah tambahan. Tapi ternyata, bila
dirasakan dalam hati para santri, Makam adalah tempat untuk melampiaskan
renungan dihati. Hal itu sering terasa disaat santri sedang berdo’a. Pikiran
tentang dosa, kesalahan, kehidupan, masa lalu, semua terlintas dalam benak
otak.
Akupun
merasakannya.
Bahkan disaat aku sedang membaca
Al-Qur’an, hatiku merasakan apa yang tak sering dirasakan. Otakku dalam
perjalanan spiritualnya. Menelusuri kesadaran-kesadaran yang ada dalam benak.
Pikiran pun tertuju pada tujuannya. Pada sebuah kesalahan yang dulu sering
kulakukan, yang tak kupedulikan dosanya.
“Maafkan aku Tuhan,” batinku ingin menghadap, pada Tuhan maafku
meratap. Saat mataku masih menatap, pada ayat-ayat Al-Qur’an lidahku terus
mengucap. Anganku terus melayang selama aku bertadarus. Dan kini hanya satu
kesalahan yang terbayang.
Bahkan dalam tadarusku kali ini. Aku
tak hanya ingin meminta maaf pada Tuhan. Tapi aku juga ingin mencoba untuk
berbicara padaNya. Bertanya tentang kesalahan dan kebenaran, serta apa yang
seharusnya dilakukan. Segera kuperintahkan otak untuk merancang kata-kata yang
tepat untuk dijadikan pembuka obrolan. Dan saat diksi sudah menemukan kata
perkata dalam satu kalimat yang tepat, otak pun mencari syaraf untuk
melemparkannya menuju ke hati.
“Memang
sudah begitu sering dan begitu lama aku melakukan kesalahan itu. Tapi bukankah
seharusnya aku menyadari? Bila aku sudah menganggap hal itu sebagai sebuah
kesalahan, semestinya Engkau tahu, bila aku sudah tak lagi melakukan.”
Kalimat itulah yang berhasil dibuat.
Hatiku mencoba bertanya pada Tuhan, meski kutahu takkan ada jawaban yang
kudengar. Tapi jujur, saat kalimat itu sudah terlontar, tubuhku terasa
bergetar!
Lidahku terus mengucap lafadz
Al-Qur’an, mungkin juga untuk memancing jawabanNya. Mungkin saja, bila Dia akan
menjawab pertanyaanku melalui ayat-ayat dalam KitabNya. Namun setelah sudah
setengah juz aku bertadarus. Aku tak juga merasakan jawabanNya.
Akupun berinisiatif membuat sebuah
pilihan. Karena hanya satu yang pasti
dalam hidup adalah ketidakpastian. Jadi dalam hidup, pasti ada pilihan. Dan
aku memberi pilihan pada Tuhan. Setelah otakku berangan sebentar, hatiku kini
mencoba kembali untuk berbicara pada Tuhan.
“Kau
pasti tahu jika aku membenci hujan. Dan aku pun juga tahu, jika pasti Engkau
yang menurunkan. Maka dari itu, aku akan membuat dua pilihan.”
Suasana masih mendung, kemungkinan
akan terjadi hujan. Tapi sudah setengah jam, hujan tak juga datang. Dan suasana
seperti ini tak biasanya terjadi. Tentang permintaan maafku pada Tuhan, aku
hanya butuh dua jawaban : Iya atau tidak. Dan aku menghubungkannya dengan
keadaan : Hujan atau tidak. Maka dari itu aku membuat pilihan untuk Tuhan.
“Jika
Kau tak menurunkan hujan, itu berarti kau memaafkan. Tapi jika kau turunkan
hujan, itu berarti Kau tak memaafkan. Karena turunnya hujan mengartikan jika
Kau memang membenciku, sebagaimana aku juga membenci hujan!”
Pilihan sudah tersampaikan, dan aku
kembali menunggu jawaban.
Aku sering melakukan hal ini. Membuat
pilihan untuk Tuhan sering kuartikan sebagai wujud dari jawabanNya. Dari hal
itu aku merasakan Tuhan benar-benar ada. Dan aku serasa bisa mengobrol
denganNya, merasakan jawabanNya. Dan kali ini aku melakukannya lagi untuk
mendapat jawaban.
Kini. Waktuku tersisa ¼ jam sebelum
jadwal mengaji tiba. Dan aku memberi batasan waktu ini kepada Tuhan. Akankah
Tuhan menurunkan hujan selama ¼ jam ini, sebelum aku menyelesaikan satu juz,
dan sebelum aku pulang sampai di Pesantren. Atau sebaliknya?
Dua pilihan pasti ada salah satu yang
terjadi.
5 menit kemudian. Suara rintik
terdengar, “tik... tik... tik...” suara itu semakin memperjelas jika itu memang
suara hujan, karena rintik itu juga membasahi lembaran Al-Qur’an. Akupun
bergegas menuju tempat yang beratap untuk berteduh.
Dan setelah Al-Qur’anku tak lagi
terkena rintik hujan, seketika tempo air hujan yang jatuh bertambah cepat.
Hingga rintik yang jatuh membuat genangan air hujan. Ternyata tadi gerimis
hujan hanya sebentar, karena kini hujan sangat deras dan suara gemuruh yang
terdengar.
Dua lembar lagi untuk menyelesaikan
tadarusku. Aku kebingungan. Bimbang untuk tetap di Makam atau berlari pulang.
Tapi karena hujan sudah terlanjur sangat deras, aku pun memiluh untuk
menyelesaikan sampai satu juz.
Anganku pun kembali berkata.
“Ah sial. Tuhan tak memaafkan!”
Bahkan
derasnya hujan membuatku merasa bahwa Tuhan memang membenciku. Sebagaimana aku
juga membenci hujan. Aku
pun pasrah dengan keadaan. Karena jawabanNya sudah jelas. Kesalahanku tak
dimaafkan.
Selama 5 menit aku membaca 2 lembar.
Dan dalam 5 menit tadi, aku hanya ingin segera cepat menyelesaikan tadarusku
lalu beranjak pulang, dan sudah tak kuhiraukan lagi jawaban Tuhan.
Setelah selesai tadarus. Aku berdo’a
sejenak, lalu kututup Al-Qur’an. Aku bergegas keluar dari Makam dan melangkah
untuk pulang. Namun langkah kakiku terhenti. Terhalang hujan yang malah semakin
gemuruh dihadapan. Aku pun kembali meragu. Bukan bimbang akan pulang, tapi rasa
kedinginan yang mengancam.
Dan
ternyata Tuhan tak memberi pilihan.
Karena 5 menit lagi aku harus mengaji
di Pesantren. Akupun mengubah kata-kataku yang membenci hujan. Kali ini aku tak
lagi membenci hujan. Aku tak takut dengan hujan. Dan kuputuskan untuk beranjak
pulang dan menerjang derasnya hujan.
Aku berlari sekencang mungkin. Tak
mempedulikan rasa dingin. Hujan bertambah deras. Suhu tubuh seperti tertusuk
semakin keras. Nafas sudah terengah-engah, meski jalan yang kutempuh belum
sampai setengah. Dan saat kelelahan menghampiri, aku melambatkan tempo kaki
berlari.
Tak ada satu menit, aku mencapai titik
tengah antara Makam dan Pesantren. Karena jarak Makam dan Pesantren tak begitu
jauh. Saat berjalanpun hanya membutuhkan waktu 4 menit. Jarak Makam dan
Pesantren hanya berkisar 100 meter.
Aku berhenti berlari, bukan hanya
karena letih. Tapi pandanganku kedepan melihat pohon besar dipinggir jalan.
Pohon itu melintang hingga rantingnya sampai ke atap-atap jalan. Pikirku saat
itu aku bisa berteduh di pertengahan jalan. Karena melihat jalanan dibawah
pohon itu tidak terlalu basah.
Aku berlari setengah berjalan disisa
tenagaku untuk sampai dipohon itu. Dan seketika aku sampai dibawah pohon, aku
tak lagi kehujanan. Aku pun tak lagi berlari, namun masih berjalan. Karena
waktu sudah tidak memungkinkan untuk berhenti dijalan.
Kaki masih lambat melangkah, sekedar
untuk mengumpulkan tenaga untuk berlari lagi. Sempat kuberpikir, mungkin
setelah melewati pohon ini, aku kembali kehujanan. Dan saat pohon tak lagi
meneduhkan, aku kembali berlari.
Baru tiga langkah kakiku berlari. Aku
tersentak.
Lalu mataku memandang ke langit.
“Ah! Hujan sudah mereda?”
Aku menurunkan tempo kaki lagi. Seakan
terasa logika tak mempercayai cuaca. Hujan yang tadi begitu deras, seketika
berhenti begitu saja. Dan ternyata dibawah pohon tadi, aku tak kehujanan bukan
karena pohon yang meneduhkan, tapi hujan memang sudah mereda.
Aku tak jadi berlari. Aku memilih
berjalan untuk melonggarkan jarak menuju ke Pesantren. Menenangkan kegaduhan
dalam benak, karena mungkin aku akan terlambat mengaji jika masih hujan. Tapi
saat hujan berhenti, pikiran itu pun menghilang. Aku melangkah dengan tenang.
“Eh,
apa artinya? Adakah jawaban lain dari Tuhan?”
Pikiranku tiba-tiba memikirkan jawaban
tadi lagi. Kuingat-ingat lagi pilihan yang tadi kuberikan kepada Tuhan, untuk
meyakinkan jawaban yang mungkin kini akan menjadi berbeda.
“Jika
Kau tak menurunkan hujan, itu berarti kau memaafkan. Tapi jika kau turunkan
hujan, itu berarti Kau tak memaafkan.”
Tapi kini hujan tiba-tiba mereda. Apa
artinya?
Kucoba menelaah logikanya.
Aku mendapatkan hubungannya. Dan
disaat seperti ini, aku sungguh merasakan Tuhan ingin berbicara denganku, meski
melalui perantara yang berbeda. Dan melalui hati, Tuhan membisikkan kalimat
untukku.
“Kesalahan
besar memang tak mudah dimaafkan. Apalagi hanya dengan kata maaf, tanpa bukti
nyata untuk khilaf. Tapi saat kesadaran juga mengikutsertakan, sebuah keinginan
akan hadir untuk memaafkan. Dan setelah kesalahan itu sudah terbalas, hingga
terwujud dengan kata impas. Kesalahan akan termaafkan dengan ikhlas.”