MASUK/KELUAR

Oleh: Saina Maulana 

Masuk adalah keluar. Keluar adalah masuk.
Selalu yang terpikirkan dari kata luar adalah yang diluar. Yang berarti menuju ke luar, atau “ke-luar”. Dan bila dikontekskan dalam sebuah ruangan, keluar berarti masuk ke-luar ruangan, atau masuk ke kehidupan luar dari sebuah ruangan tadi. Kenapa saya lebih memilih kata “masuk”, daripada kata “keluar”? Karena kata masuk lebih menuju ke kehidupan baru. Berbeda dengan kata keluar, terdengar seperti, baru saja menyelesaikan sesuatu, dan belum mengerti, apa yang seharusnya dilakukan diluar.

 Hal ini yang kebanyakan dirasakan oleh para santri yang sedang liburan. Mereka selalu berpikir, liburan adalah keluar dari pesantren. Yang berarti tidak lagi masuk dalam pesantren. Dan bila dikontekskan dalam premis tadi, para santri menganggap liburan adalah sebagai penyelesaian setelah lamanya belajar di pesantren. Dan dampaknya, saat dirumah, mereka belum mengerti, apa yang seharusnya mereka lakukan.

 Cerita-cerita mereka memunculkan sebuah survey, dan survey membuktikan. 90% santri hanya menjadikan liburan sebagai bentuk pelampiasan! Coba tanya pada orang tua mereka. Banggakah mereka dengan apa yang dilakukan anaknya saat liburan?
Senangkah mereka dengan kehadiran anak mereka, setelah sekian lama tidak berada dirumah? Kebanyakan, keluhan mereka sama. 
 “Anak saya kalo di rumah tidur mulu. Susah dibangunin.”
 “Anak saya liburan, tapi gak pernah dirumah.”
 “Anak saya tidak ada bedanya, sebelum dan sesudah masuk pesantren sama saja.”

 Miris! Ini bukan salah pesantren! Karena selama pembelajaran, pesantren sudah melakukan tugas dengan semestinya. Pihak pesantren sudah berusaha mencetak santri menjadi pribadi yang lebih baik budi pekertinya, sikapnya, dan perilakunya. Dan itu berhasil. Para santri menjadi santun, rajin beribadah, dan hilang sifat “kenakalannya”. Memang perilaku itu berhasil ditanamkan pada santri-santri. Tapi itu terjadi “hanya” di pesantren, saja!

 Iya. Hanya di pesantren. Karena saat mereka keluar dari pesantren, tidak ada aturan, tidak ada paksaan, mereka bebas! Mereka bisa melakukan apapun. Dan itu terjadi saat liburan, entah itu di pertengahan tahun atau di akhir tahun.

 Hal ini disebabkan karena pemikiran santri yang salah, dan kaprah! Karena saya pribadi pernah menganggap itu sebagai kebenaran. Dan karena sudah kaprah, kebanyakan santri juga berpikiran seperti itu. Kita berpikir, liburan adalah pelampiasan. Setelah di pesantren dikekang dengan banyaknya aturan, tuntutan, beban, dan tidak bebas. Begitu ke-luar dari pesantren. Kita merdeka! Karena ini saatnya untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan di dalam pesantren.

 Bukan begitu para santri yang sedang membaca?

 Sebagai pendukung generasi anti mainstream, saya menolak semua pemikiran tentang salah kaprah. Dan pemikiran diatas termasuk salah satunya. Karena yang kaprah tidak selalu benar, dan kesalahan tak akan bisa dikalahkan oleh kebanyakan!

 Kembali ke premis awal tadi. Pemikiran ini dapat diubah. Dengan menanamkan pemikiran yang lebih benar. Contoh kecil, dengan berpikiran bahwa liburan tidak harus diartikan dengan kata “ke-luar” dari pesantren, tapi masuk ke dalam kehidupan baru: rumah. Kita anggap rumah sebagai kehidupan baru, level selanjutnya dari kehidupan di pesantren. Dengan begitu, kita akan memikirkan sesuatu yang “baru” dari apa yang telah dilakukan selama di pesantren. Bukan melakukan sesuatu yang “berbeda” dari apa yang telah dilakukan di pesantren.

Salam pena,
Saina, Maulana.