Tiada Setia Yang Sesaat Part 4


PART 4
Hari semakin sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik yang sedang bernyanyi. Suasana di Pojok Pesantren hanya dipenuhi asap rokok dan nikmatnya secangkir kopi.
“Yaudah, Dul. Mending kita tidur aja. Udah jam 3 pagi nih. Lagian kan lo besok masih masuk sekolah juga,” tawaran Doni  sambil membuang putung rokoknya dan menenggak habis kopi dalam cangkir.
“Bener juga lo, men. Tapi kopinya nggak harus ditenggak habis juga kali. Kebiasaan lo!” jawab Abdul kesel.
“Hehehe, maap, Dul. Yaudah gue tepar dulu ya. Daah...” sahut Doni  langsung meninggalkan Abdul.
“Woy, tungguin... Nih sampahnya siapa yang tanggung jawab?”
“Gue percaya sama lo, Dul.” Teriak Doni  sambil melambaikan tangan.
“Anjrit lo! Untung gue lagi galau. Kalau nggak, gue ratain tuh muka.” Cerutu Abdul yang sedang membersihkan sampah yang ada.
Malam hanya diselimuti oleh sunyi, bersama angin-angin yang mengiringi suasana menjadi tambah ngeri. Merasa suasana mengiliknya, Abdul reflek menyanyikan lagu, “tak lagi... kurasa... hadirmu... antara ada dan tiada.”
“Hii. Kok kayaknya mistis sekali ya malam ini. Gue jadi merinding. Jangan-jangan ada cewek yang sedang mengintai gue. Iya kalo manusia, kalo bukan? Ampun deh,” Abdul ngaco sendirian.
Tiba-tiba, terdengar suara yang tak terduga. Abdul tersentak, kaget.
Ternyata handphone Abdul berbunyi. Jarang-jarang ada yang telfon jam segini. Apalagi suasana malam yang sepi nan sunyi seperti ini. Membuat Abdul semakin merinding dan ketakutan.
“Siapa sih malam-malam gini telfon, ganggu orang mau tidur aja.”
Abdul mengambil handphone sambil gemeteran, “eh, ternyata Maya! Ngapain dia telfon jam segini?” Abdul heran.
“Assalamu’alaikum. Ada apa, May? Kangen ya ma aku? Hehe,” sapa Abdul dengan candanya. Tapi tak terdengar suara apapun. Maya tak menjawab.
“May? Kok diem?”
“(.....)” hanya desahan lembut yang terdengar.
“May? Kamu kenapa? Kamu nangis ya? Siapa yang bikin kamu nangis?” seketika Abdul panik, ketika mendengar orang yang dia sayangi menangis.
Maya menarik nafas panjang dan akhirnya dia mau bicara, ”aku baru putus sama Alex.”
“Apa? Putus? Bukannya kemaren baru baikan? Kok malah putus? Gimana ceritanya, sebenarnya antara kalian ada masalah apa sih?” Abdul kaget mendengar Maya putus sama Alex.
“Cri.. Critanya panjang, Dul.” Maya masih menangis. Abdul hanya diam mendengar orang yang dia sayangi menangis. Hanya ada harapan dia ingin menjadi orang pertama yang menenangkan hatinya.
“Sebenarnya aku dan Alex tak pernah ada kecocokan. Hanya saja aku tak mau menyakiti orang yang menyayangiku. Selama ini aku telah mencoba menjadi apa yang ia inginkan. Walaupun semua itu berat untuk aku lakukan. Aku hanya berharap, bila suatu saat nanti takdir menguji. Jika memang aku bukanlah jodoh yang terbaik baginya. Semoga kami berpisah tanpa ada masalah satu sama lain.” Maya menceritakan semuanya. Abdul hanya terdiam mendengarkan.
“Tetapi kamu tahu sendiri kan? Dia tak pernah tahu apa yang kurasakan selama ini. Dia hanya ingin bersenang-senang saja, tanpa mau mengerti pengorbananku demi kebaikan kami berdua. Ditambah lagi, dia tak mau mendengarkan penjelasanku. Ketika aku ada masalah, dia selalu menyalahkanku. Ya ginilah. Ya gitulah. Aku dah nggak kuat lagi, Dul.” Emosi Maya meningkat.
“Sabar, May.” Hanya itu yang mampu Abdul katakan.
“Iya, Dul.”
Abdul terdiam, meredam rasa. Dalam hati dia berkata, “andai kamu tahu, apa yang kurasakan selama ini, May.” Karena selama ini dia adalah orang yang sangat menyayangi Maya.
“Yaudah, May. Nggak usah bersedih lagi.” Akhirnya Abdul angkat bicara, “intinya kan kamu nggak bersalah. Udah, biarin Alex menentukan pilihannya. Jangan berkecil hati yaa. Lagian menurut aku, kamu sudah berusaha kok. Bahkan itu semua lebih dari cukup. Lagipula banyak kan, orang yang menyayangimu lebih dari Alex.” Abdul menasehati Maya. Tak sadar, ia mengisyaratkan bahwa orang yang menyayanginya adalah dirinya.
“Ambil hikmahnya saja, May. Bahwa orang yang kita sayangi, tak selamanya bisa kita miliki. Iyaa kan?” Abdul menyimpulkan.
Maya tak menjawab. Ia terus menangis.
Abdul pun tak bicara lagi. Ia membiarkan Maya meresapi apa yang ia katakan tadi. Dia berharap, Maya menyadari. Dibalik kesedihannya, ada orang yang lebih sedih karenanya. Orang yang selalu menyayanginya. Orang yang rela bertahan dan mengorbankan perasaan untuknya.
_
Di pagi harinya, Abdul bangun kesiangan. Ia pun langsung bergegas untuk persiapan berangkat sekolah. Ia sendiri takut kalau nantinya telat sampai ke sekolah. Dengan keadaan masih ngantuk dan capek, ia berjalan terburu-buru, kayak di kejar kuntilanak. Lalu tiba-tiba, ”hai Abdul!”
Suara yang tak asing terdengar oleh telinganya. Setelah menengok, ternyata bukan kuntilanak tapi cewek cantik yang ia lihat, “eh kamu, May,” Abdul menjawab.
“Kok baru berangkat, May?” tanya Abdul.
“Emang biasanya berangkat jam segini,” jawab Maya.
“Emang ini jam berapa?” Abdul kembali bertanya.
“Jaam, 7 kurang seperempat.” Jawab Maya manja.
“Masa’ baru jam segitu? Kirain aku udah telat, makanya aku terburu-buru.” Abdul terlihat ceroboh. Kelihatan banget kalo nggak pernah lihat jam.
“Kamu sih, kalo begadang suka nggak inget waktu. Tadi malem sampe jam berapa hayooo?” cerutu Maya, seolah dia nggak menghiraukan kejadian semalam.
“Yang penting kan ada maksud dan tujuannya. Apalagi aku kan cowok, harus kuat berkorban.” Jawab tegas Abdul sambil sedikit menyindir Maya.
Maya hanya terdiam. Lalu berpaling dari tatapan Abdul.
“Oh ya, May. Setelah pulang sekolah kosong nggak? Kita jalan yuk?” Abdul mencoba mengalihkan perhatian karena tahu kalo Maya tersinggung.
“Gimana, May? Sambil membunuh waktu, kan bosen juga nungguin hari kelulusan nggak ngapa-ngapaen. Rasanya males banget.” Abdul nyengir, mencoba menghibur Maya.
“Oke, Dul. Aku mau kok. Ntar aku tunggu di tempat biasa yaa.” Maya tersenyum. Mungkin dia sedang menyembunyikan kesedihannya. Yang membuat Abdul bertanya-tanya, baru putus sama Alex, tapi kok sikapnya biasa-biasa saja.
Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan mereka ke sekolah. Sambil ngobrol kesana, kemari, bercanda dan sesekali Maya mecubit Abdul. Mereka terlihat sangat akrab banget. Tak heran kalau kedekatan mereka berdua membuat teman-teman mereka menyangka bahwa mereka udah berpacaran, walapun Maya baru putus sama Alex.
“Yauda ya, Dul. Aku sama temen-temen dulu. Ntar aku tunggu di tempat biasa ya.”
“Oke, May!” Abdul tersenyum.
Maya berlari kecil menghampiri teman-temannya. Mereka menyambut Maya dengan ceria. Dan langsung menanyakan hubungannya sama Alex. Tapi Maya mengalihkan pembicaraan, seolah enggan membahas Alex.
Kabar Maya putus sama Alex sudah menyebar di sekolah. Tapi Maya menanggapinya biasa saja, seakan-akan bukanlah menjadi masalah baginya. Begitu juga dengan Abdul yang disangka menjadi pacar barunya Maya. Abdul malah tambah percaya diri. Dia yakin, kalo Maya juga menyimpan perasaan yang sama dengan dirinya.
Tepat di depan kelas, Abdul ketemu sama Alex. Dengan ramah Abdul menyapa, “hai, bro! Gimana? Aman-aman aja kan?” tingkah Abdul sok akrab dengan Alex.
“Yo’i men.” Alex menjawab dengan nada datar.
“Oh ya, bro. Denger-denger lo baru aja putus ya sama Maya? Gimana ceritanya? Lo nggak pernah cerita sama gue sih.” Abdul mulai berbasa-basi, dengan berpura-pura nggak tahu.
“Bener, men.” Jawab singkat Alex, dia tak lagi menjawab.
Abdul mulai khawatir. Karena sebelumnya, Abdul pernah sedikit masalah sama Alex gara-gara Maya.
“Gimana ceritanya, bro?” Abdul merangkul Alex. Mencoba mencairkan suasana, walaupun dalam hati tetep merinding.
“Ceritanyaa, ya panjang lah,” Alex akhirnya mau bercerita, “ tapi intinya semua yang salah gue, gue terlalu egois. Dan gue nggak pernah mikirin posisi dia. Ya, wajarlah kalo dia mutusin gue. Tapi yang penting, gue sama Maya nggak ada perselisihan sekarang. Kita udah damai dan kita putus secara baik-baik.” Alex tersenyum, Abdul cuman manggut-manggut.
“Sekarang, gue lagi nyari cara. Gimana caranya bisa ngelupain Maya.” Alex mengakhiri ceritanya. Padahal, Abdul juga udah mengetahui semuanya.
“Iya juga, sih. Pacaran kalo nggak ngertiin pacar jadinya malah begini. Padahal kalo gue lihat-lihat ya, bro. Maya tuh tulus loh sama elo. Tapi lo aja yang keterlaluan.”
Alex menatap kesal Abdul.
“Mungkin lo bisa membenahi diri lo. Instropeksi diri gitu,” Abdul nyengir, sok dewasa menasehati Alex.
“Dah terlambat, men. Semuanya nggak bisa diulangi lagi. Yang penting Maya nggak marah sama gue, itu udah cukup buat gue. Sekarang gue ya harus terima apa adanya, mungkin ini sudah jadi takdir gue.” Alex memelas.
“Kriiinng.. Kriiing.. ” Bel tanda masik sekolah memutuskan obrolan mereka
“Eh, gue masuk dulu ya, kapan-kapan kita obrolin lagi. Saran gue, lo yang sabar aja. Semua pasti ada hikmahnya.” Abdul kembali menasehati Alex dengan menepuk punggungnya.
“Oke, Dul.” Jawab Alex agak kesel.
_
Abdul memasuki ruang kelasnya. Ia menuju bangku kelasnya, yang terletak paling pojok belakang di kelas. Karena guru belum ada, Abdul langsung pasang formasi untuk tidur, efek begadang tadi malem langsung menyerang. Dengan Pedenya, ia langsung menaruh dadanya ke atas meja dan menjadikan kedua tangannya sebagai sandaran kepala. Ia langsung tertidur pulas tanpa peduli dengan kanan-kiri.
Sekitar 6 sampai 7 jam dia tertidur pulas dengan posisi duduk. Ia tersentak dan terbangun karena mendengar bel pulang. Dengan badan pegel-pegel ia berlari keluar kelas dan langsung menuju ke taman. Ia langsung teringat, kalau sepulang sekolah ada janjian sama Maya. Karena nggak mau telat, Abdul tak mempedulikan kalo dia baru aja bangun tidur. Semua yang berhubungan dengan Maya, ia harus nomer satukan.
Dan ternyata Maya sudah sampai duluan. Dia sedang duduk sambil membawa es kelapa muda dengan dua sedotan.
“Eh, udah sampai duluan ya, May.”
Dengan keadaan masih berantakan Abdul mendekati Maya. Mata Abdul terus melirik kearah es kelapa muda yang ada ditangan Maya. Mungkin karena kehausan, tidur berjam-jam kan capek juga. “ES,nya seger ya, May? Itu sedotannya kok dua, pasti yang satu buat aku ya?”
Belum sempat Maya membalas sapaan Abdul, ia udah nyerobot aja. Dengan pedenya Abdul minum es yang masih ditangan Maya. Maya hanya memandangnya.
“Nih orang kesambet kali yaa,” batin Maya dalam hati.
“Ahh. Segernyaa. Esnya enak banget, May. Hehehe.” Abdul nyengir.
“Hee, enak ya?” Jawab Maya, sambil mengangkat es kelapa muda ditangannya yang sudah habis di telan habis.
“Gimana? Jadi jalan nggak nih?” Maya menarik obrolan.
“Yaa, jadi lah.” Abdul menjawab tegas. Tak sadar kalau dirinya masih berantakan karena baru bangun tidur.
“Jadi ya? Yaudah kalo jadi, kamu cuci muka dulu ya, tuh di pipimu masih ada bekasnya.” Maya menahan tawa.
“Hehehe. Ini ya. Maap, May. Aku lupa baru aja tidur, hee. Aku cuci muka dulu yaa?” Abdul nyengir dan langsung menuju ke toilet.
Setelah itu, mereka langsung jalan bareng. Jalan kaki menulusuri halaman sekolah menuju pintu gerbang.
“Oh yaa, May. Kamu uda makan?” Abdul membuka obrolan. Maya hanya menggeleng.
“Ah iya. Aku juga tahu, pasti kamu laper kan? Hehe.” Padahal sebenarnya Abdul yang laper. Maya hanya tersenyum geli, karena mengetahui Abdul yang baru aja bangun tidur. Sudah pasti dia yang laper.
“Oce.. Tapiii, kamu yang traktir ya? Gimana?” jawab Maya.
“Siap sedia kulakukan untuk Tuan Putri,” jawab tegas Abdul, sambil menengok ke saku baju seragam Abdul, ia selalu ingin terlihat cool didepan Maya.
“Hahaha. Nggak nggak kok, aku bercanda. Yaudah yuk, langsung berangkat aja.” Maya menarik tangan Abdul, dan menggandengnya berjalan.
“Hehehe, iya ayook.” Abdul nyengir.
Mereka berjalan menuju ke warung di sekitar sekolah. Di jalan setapak itu, Abdul memberi candaan dan lelucon yang bisa menghibur hati Maya. Abdul pun merasa sangat senang melihat Maya bisa tertawa bebas seperti sekarang, karena mungkin rasa sedih baru putus sama Alex masih membekas dalam hatinya.
Akhirnya mereka sampai di sebuah warung lesehan di pinggir sekolah. Sebuah tempat yang dibangun dengan semua bahannya menggunakan bambu. Yang membuat suasana menjadi lebih romantis. Mereka pun langsung memesan makanan favorit mereka masing-masing dan mereka makan dengan lahap. Tanpa mempedulikan orang disekitar, mereka bercanda dan tertawa seperti berada dirumah sendiri. Dan mereka tidak menyadari, kehadiran mereka mengganggu orang lain.
“Woy, berisik lo berdua!” seseorang yang ada dibelakang Abdul menegur mereka berdua.
Mendengar itu, Abdul langsung emosi. Dihadapan Maya, wajahnya dipenuhi dengan amarah. Tanpa berdiri, Abdul langsung menengok kebelakang. Daan,
“Maaf, Mas.” Sambil menganggukkan kepalanya.
“Hahahaha.” Maya mengejek Abdul, “kirain tadi mau marah-marah. Ehh ternyata sok jagoan juga ya kamu. Hahaha.”
“Ssstt! Jangan kenceng-kenceng ketawanya. Ntar dia tambah marah lagi.”
“Hahahaha.” Maya malah tambah kenceng ketawanya.
“Ssstt,” Abdul menutup mulut Maya dengan tangannya, trus dia ngomong, “tadi... aku kira yang negor kita tuh anak sekolahan seumuran kita gitu, eh ternyata badannya gede banget, gak jadi marah deh.”
Abdul membuka mulut Maya lagi.
“Hahahaha.” Maya tertawa lagi, “lucu juga ya kamu.”
Abdul tersenyum.
Setelah selesai makan. Rencana selanjutnya adalah nonton film bareng. Abdul melihat jam sudah menunjukkan pukul 14:30. Dia mengambil dua tiket film “Warkop Reborn” yang udah dia beli kemaren, jadwalnya film diputar pukul 14:45. Mereka pun bergegas menuju ke bioskop karena takut terlambat. Sampai di bioskop, film baru saja mulai. Mereka pun langsung masuk bioskop dan duduk di tempat duduk yang berdampingan.
Mereka pun kembali tertawa bersama, melihat kocaknya film yang mereka tonton. Banyak pasang mata yang menyoroti mereka, mungkin karena terlalu asyik dengan suasana, yang membuat mereka berdua tak mempedulikan itu semua.
“Hahahahaha, Dul! Itu orang mustinya masuk rumah sakit jiwa ya!” Maya berbicara sambil ketawa.
“Hahahaha,” Abdul juga tertawa, “eh, May. Gausah pake ngomong, entar ada yang marah lagi. Ketawa aja yang kenceng!”
“Hahahaha,” Maya ketawa tambah kenceng
“Hahahahahaha,” Abdul ketawa tak kalah kenceng.
Dan tak terasa waktu berjalan begitu cepat, film pun segera berakhir. Mereka memutuskan untuk pulang, karena melihat waktu yang udah sore. Abdul takut telat sampai Pesantren. Mereka bergegas keluar dari bioskop dan langsung pulang.
Sesampainya di pertigaan Pesantren, Maya berkata, “Abdul, makasih ya. Seharian ini sudah nemenin aku. Jujur aku tak pernah tertawa selepas itu, aku merasa senang sekali hari ini, Dul. Sekali lagi, makasih ya?”
Maya menatap mata Abdul. Abdul pun menatap matanya.
“Iya, May. Sama-samaaa.” Abdul mencubit kecil pipi Maya, yang membuat Maya tersipu malu.
“Daah. Duluan yaa, sampai jumpa besok!”
Abdul melambaikan tangannya, sambil melangkah pulang, menuju ke Pesantren yang berada di depannya. Maya hanya tersenyum dan terpaku di pertigaan jalan itu, melihat seseorang yang membuatnya merasa sangat senang seharian ini.